Thursday, 26 June 2014

Frequency Control - Part II


Dalam bahasan sebelumnya, ditekankan bahwa turbin akan berekasi dengan adanya perubahan frekuensi. Jika frekuensi naik, maka daya turbin akan dikurangi. Jika frekuensi turun, maka daya turbin akan dinaikkan. Hal ini terlihat jelas pada gambar 2, yang disebut Generation Characteristic. Sampai di sini, karakteristik tersebut kita asumsikan selalu linier. Namun dalam aplikasinya tidaklah demikian karena sistem pembangkit (turbin, atau sistem pembakaran) dibatasi oleh banyak variabel.

Spinning reserve:
Secara teori, jika frekuensi sistem turun maka daya turbin akan dinaikkan. Hal ini akan berlaku apabila pembangkit dalam keadaan underloaded (dibebani tidak penuh; beban parsial). Jika generator dibebani maksimum dan di waktu yang sama terjadi penurunan frekuensi sistem, maka turbin tidak akan bereaksi menaikkan daya. Ini artinya sistem pembangkit tidak akan dapat melakukan aksi Frequency Control.

Dari deskripsi di atas, jelas sekali bahwa kemampuan sistem dalam melakukan Frequency Control sangat bergantung pada pembangkit-pembangkit yang dioperasikan dalam keadaan underloaded. Secara kasar, dikatakan bahwan sistem daya listrik harus memiliki ‘cadangan’ daya; jika terjadi penurunan frekuensi, ‘cadangan’ daya tersebut dapat langsung diberikan ke sistem. ‘Cadangan’ daya tersebut dikenal sebagai Spinning Reserve (cadangan putar; mohon koreksi). Spinning Reserve didefinisikan sebagai selisih rating nominal daya listrik semua pembangkit dengan nilai pembebanan yang sebenarnya. Hal ini meneyebabkan Generation Characteristic menjadi tidak linier karena keterbatasan daya maksimum pembangkit sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 3.



Dalam suatu sistem daya yang besar, pasti akan melibatkan pembangkit dalam jumlah banyak dan saluran transmisi yang bervariasi. Jika fluktuasi frekuensi terjadi, misalkan penurunan frekuensi; maka harus diyakinkan bahwa tidak ada saluran transmisi yang overload karena pembangkit yang terkoneksi melakukan aksi Frequency Control. Dengan demikian, pemilihan dan penempatan pembangkit yang melakukan aksi Frequency Control haruslah cermat agar overload pada saluran transmisi tidak terjadi. Gambar 4 menunjukkan perbedaan respon pembangkit dengan perbedaan Generating Characteristic.


Pada gambar 4a, kedua pembangkit dalam keadaan underloaded yaitu P1 dan P2. Pada saat keadaan normal, frekuensi sistem adalah fo. Pada saat frekuensi sistem turun menjadi f1, maka kedua pembangkit akan melakukan aksi Frequency Control dengan cara menaikkan daya hingga Pmax1 dan Pmax2.

Pada gambar 4b, pembangkit pertama dalam keadaan full-loaded yaitu P1 = Pmax1; sedangkan pembangkit kedua dalam keadaan underloaded yaitu P2. Pada saat keadaan normal, frekuensi sistem adalah fo. Pada saat frekuensi sistem turun menjadi f1, maka pembangkit kedua akan melakukan aksi Frequency Control dengan cara menaikkan daya hingga Pmax2; sedangkan pembangkit pertama tidak melakukan aksi Frequency Control.

Maka, pada sistem daya yang besar, ada pembangkit yang disetting pada mode full-loaded dan pembangkit lain pada mode underloaded. Tujuannya adalah untuk menjaga Spinning Reserve dari sebuah sistem.

To be continued to part III...

Paiton, June 26th 2014 05:21.

Saturday, 21 June 2014

Frequency Control – Part I



Foreword
Disamping tegangan, frekuensi adalah salah satu besaran yang dikendalikan secara ketat dalam sebuah sistem daya listrik. Hal ini dikarenakan frekuensi adalah salah satu indikator kualitas dan kesehatan sebuah sistem daya listrik. Adanya fluktuasi frekuensi akan menyebabkan kerugian di semua pihak, baik itu konsumen maupun pihak pembangkitan dan sistem jaringan (network). Bagi konsumen, peralatan akan bekerja di daerah frekuensi yang tidak optimal sehingga akan menurunkan efisiensi peralatan. Bagi sistem pembangkitan, fluktuasi frekuensi akan mempengaruhi sistem auxiliary dan stabilitas sistem pembangkitan.  Sedangkan untuk sistem jaringan (network), akan mempengaruhi aliran daya serta stabilitas sistem secara keseluruhan.

Dalam suatu sistem daya listrik, frekuensi dan daya aktif adalah dua besaran yang saling tergantung. Mengatur daya aktif adalah mengatur frekuensi, begitu pula sebaliknya. Karena pegaturan frekuensi melibatkan daya aktif (satuan Watt), maka pengaturan frekuensi akan erat hubungannya dengan turbin. Mengatur daya turbin adalah dengan mengatur fluida kerja (water, steam, gas) yang tentu saja akan berhubungan erat dengan governor (control valve CV dan stop valve SV) serta sistem pembakarannya. Dengan demikian pengaturan frekuensi merupakan suatu materi yang cukup kompleks.

Dasar Frequency Control: Frekuensi dan Daya Aktif
Sebagaimana telah disinggung di atas, pengaturan frekuensi sangat erat dengan pengaturan daya aktif. Gambar 1 di bawah akan menunjukan penyederhanaan hubungan frekuensi dengan daya aktif. Pada gambar 1a, jika daya yang dibangkitkan oleh sistem pembangkit sama dengan daya yang dibutuhkan beban (rugi transmisi diabaikan), maka frekuensi akan berada pada posisi nominal. Dalam sistem daya listrik kita, frekuensi akan berada tepat di 50 Hz.


Gambar 1b menunjukkan keadaan pada saat sistem pembangkit menghasilkan daya lebih besar daripada daya yang dibutuhkan beban, maka frekuensi sistem akan naik. Keadaan sebaliknya terjadi di gambar 1c, daya yang dibutuhkan beban lebih besar daripada daya yang dibangkitkan oleh sistem pembangkit sehingga frekuensi akan turun.

Frequency control harus bekerja secara benar pada keadaan di gambar 1b dan 1c, untuk mengembalikannya ke kadaan seperti di gambar 1a. Pada kondisi 1b, turbine harus mengurangi suplai daya. Sedangkan pada kondisi 1c, turbin harus menambah suplai daya.

Namun sistem daya listrik umumnya mencakup wilayah yang sangat luas dan melibatkan jumlah pembangkit yang sangat banyak, sistem transmisi yang panjang, dan titik beban yang banyak pula. Dengan demikian, frequency control akan dilakukan dengan beberapa metode yang berbeda untuk menghasilkan respon yang cepat dan stabil serta aman.

Karakteristik Sistem Pembangkitan
Dalam dasar frequency control di atas, disebutkan bahwa turbin harus menambah atau mengurangi daya untuk mengembalikan frekuensi sistem pada kondisi normal. Pada gambar 2, ditunjukkan karakteristik sistem pembangkitan sebagai respon adanya perubahan frekuensi.



Pada gambar 2, dianalogikan dalam sistem daya terdapat dua pembangkit, yaitu pembangkit daya 1 dan pembangkit daya 2 dengan karakteristik yang berbeda. Jika pada suatu sistem daya terdapat penurunan frekuensi sebesar Δf karena ada penambahan beban sebesar ΔPT. Hal tersebut akan dirasakan oleh pembangkit 1 dan 2 dengan adanya penurunan frekuensi dengan besaran sama yaitu Δf, namun daya tambahan yang disumbang setiap pembangkit adalah berbeda bergantung pada karakteristinya (karakteristik ini akan dibahas lebih lanjut nantinya).  Dalam keadaan ini total daya yang disalurkan pembangkit meningkat dari keadaan awal, namun dengan frekuensi yang lebih rendah. Ini dapat dikatakan bahwa sistem berada dalam keadaan tidak sehat.

Maka disinilah peranan frequency control dimulai. Komponen-komponen yang tergabung dalam frequency control akan segera bekerja untuk mengembalikan frekuensi pada keadaan nominalnya (dengan nilai daya baru). Cara yang paling masuk akal adalah menambah bukaan governor agar fluida kerja yang masuk ke turbin bertambah. Dengan demikian, dalam aksinya, frequency control akan menambah daya keluaran pembangkit untuk menaikkan frekuensi, dari keadaan underfrequency menjadi keadaan nominal baru. Jelas bahwa respon governor dalam contoh di atas tidak dapat serta merta menstabilkan frekuensi. Akan ada langkah tambahan yang nantinya akan dijelaskan.

To be continued

Malang, 21 June 2014 18:45 


Wednesday, 9 April 2014

Daya Dalam Sistem Listrik AC - Part 3 (Finished)



Daya Aktif, Daya Reaktif, dan Daya Kompleks

Konsep 3 daya ini sangat mudah dijelaskan dalam model matematis (kalkulasi). Namun ketika berbicara tentang apa sebetulnya 3 macam daya itu (hakikat atau fillosofinya), hal ini menjadi sangat rumit. Konsep tersebut tidak hanya menyulitkan bagi seseorang yang baru belajar elektrikal, namun yang sudah bergelut lama di bidang tersebut mengalami semacam ‘dilema’. Antara paham dan tidak paham, setengah- setengah, bingung, atau bahkan menganggap ketignya sebagai konsep di atas kertas saja. Mungkin tulisan ini tidak akan menjelaskan konsep 3 daya dengan gambalang, namun semoga sedikit membantu.

Seperti dikatakan dalam deskripsi sebelumnya, daya kompleks (S, [VA]) merupakan penjumlahan vektor dari daya aktif (komponen real, P, [watt]) dan daya reaktif (komponen imajiner, Q, [VAR]), sehingga dituliskan S = P + jQ. Kita dapat memahami hal ini dengan mudah. Daya kompleks adalah penjumlahan dua macam daya. Selanjutnya, perhatian kita tujukan pada setiap komponennya, yaitu daya aktif dan daya reaktif.

Daya aktif (atau daya nyata, daya real) adalah bentuk daya yang dapat diubah ke dalam kerja fisik. Seperti motor (listrik ke putaran), heater  (listrik  ke panas), dan lain-lain. Artinya, daya listrik aktif dapat dikonversikan ke dalam bentuk daya lain dengan satuan yang sama melalui mesin konversi energi. Maka konsep daya aktif juga mudah dipahami.

Namun ketika berbicara tentang daya reaktif, kesulitannya akan segera muncul. Namun untuk mempermudah pemahaman, pengenalan daya reaktif akan dilakukan dengan analogi yang sering dipakai pada saat kuliah elektrikal. Kita kembali ke 3 macam konsep daya, yaitu P, Q, dan S. 3 macam daya tersebut dianalogikan dengan segelas minuman bersoda, yang berisi air soda dan buihnya. Air soda dianalogikan sebagai P, yaitu bagian yang bisa dimanfaatkan dengan nyata. Buihnya dianalogikan sebagai Q, yaitu bagian yang hanya digunakan sebagai pelengkap. Segelas penuh berisi air soda dan buih, dianalogikan sebagai S. Hal ini digambarkan dalam gambar 3.

Dari analogi di atas, akan terasa bahwa daya reaktif adalah ‘daya pengganggu’, yang keberadaannya sangatlah merugikan. Namun jika berfikir sejenak, power plant dan Pusat Pengatur Beban melakukan pengaturan daya reaktif, pasti ada tujuannya. Yang menjadikan daya reaktif bukanlah ‘daya pengganggu’, daya ini diperlukan.

Boleh tidak suka, namun kita akan kembali membuat persamaan matematis dan grafik-grafik. Misalkan sebuah beban induktif disuplai oleh sumber. Besar tegangan dan arusnya adalah V dan arus I, yang masing masing memiliki besar 1 dan 0.75 satuan. Gelombang arus tertinggal 30°. Hal ini direpresentasikan pada gambar 4. Pada gambar 4a, digambarkan jika gelombang tegangan (biru) dan arus (merah) dikalian, maka akan dihasilkan gelombang daya semu, S (hijau).


Pada persamaan sebelumnya, dijelaskan bahwa daya kompleks adalah penjumlah daya aktif dan daya reaktif, S=P+jQ. Pada gabar 4b, gelombang S dipilah menjadi 2 porsi, yaitu daya aktif P (biru muda) dan daya reaktif Q (pink). Grafik P dan Q diperbesar pada gambar 4c dan 4d.

Dari gambar 4c, diperlihatkan bahwa grafik daya aktif selalu berada di daerah positif. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai rata-ratanya adalah positif, mengindikasikan aliran daya aktif adalah dari sumber ke beban (satu arah). Daya aktif diproduksi sumber, dan dikonsumsi oleh beban.

Namun pada gambar 4d, diperlihatkan grafik gelombang daya reaktif yang berosilasi pada sumbu nol. Nilai sesaatnya kadang negatif dan kadang positif, mengindikasikan bahwa aliran daya reaktif adalah memiliki dua arah. Dalam setengah siklus, mengarah ke beban. Dan dalam setengah siklus berikutnya, akan mengarh ke sumber. Nilai rata-rata grafik tersebut adalah nol, yang mengindikasikan bahwa daya ini tidak dikonsumsi. Daya ini hanya bergerak ‘to and fro’, atau ‘mondar mandir’.

Dari analisis grafik pada gambar 4, didapatkan bahwa daya reaktif adalah daya yang bergerak dari sumber ke beban dan sebaliknya, suatu indikasi bahwa daya reaktif adalah daya yang tidak dikonsumsi. Keberadaannya kekal. Hal ini mudah diterima dengan mengaplikasikan Hukum Thermodinamika I, hukum kekekalan energi.

Namun sangkalan akan kembali muncul jika kita belajar analisis jaringan. Entah apapun metodenya, akan didapatkan istilah “Rugi Daya Reaktif”, yang seolah-olah daya reaktif diserap oleh sistem transmisi (sebagaimana rugi-rugi panas, daya aktif di kawat penghantar). Sebetulnya nilai tersebut adalah selisih daya reaktif antara sumber dan beban. Dan ingat karakteristik saluran transmisi jika dibebani, tergantung nilai SIL, ia dapat berupa komponen induktif atau kapasitif.

Pada bahasan sebelumnya, dituliskan persamaan bahwa P= VI cosφ dan Q= VI sinφ, yang menjadikan keduanya mirip. Namun, gambar 5 menyajikan persamaan untuk keduanya. Nilai terukur untuk P adalah nilai rata-rata daya aktif yang disalurkan dari sumber ke beban. Sedangkan Q adalah nilai maksimum daya reaktif yang bergerak bolak balik dari sumber ke beban atau sebaliknya.


Uraian sepanjang ini tidak menjelaskan sama sekali apa sebenarnya daya reaktif, kita hanya membicarakan karakteristinya saja. Sering dikatakan bahwa daya reaktif adalah unused power, namun secara pribadi saya tidak setuju dengan istilah tersebut. Blackout di Ohio Utara 14 Agustus 2003 disinyalir sebagai akibat dari rendahnya suplai daya reaktif.

Namun ada beberapa hal yang bisa dituliskan dari uraian di atas mengenai daya reaktif:
1)     Daya reaktif akan muncul jika sistem tegangan menggunakan gelombang bolak balik, dan terhubung ke beban reaktif (induktif dan atau kapasitif).
2)     Daya ini bergerak dua arah antara sumber dan beban. Sering diistilahkan Sloshing Power.
3)     Nilai terukurnya adalah nilai maksimum, bukan nilai rata-rata. Meskipun memiliki persamaan yang mirip dengan daya aktif (berbeda fungsi sinus dan cosinus), namun keduanya memiliki artin berbeda.
4)     Adalah suatu daya yang digunakan untu me-maintain tegangan, agar dapat menyalurkan daya aktif di jaringan. Jika nilai daya rekatif cukup rendah, maka tegangan akan turun dan tidak dapat menyalurkan daya aktif.
5)     Daya reaktif adalah daya yang berperan sebagai media konversi energi, misal pada motor atau beban lain.

Dari beberapa catatan tersebut, saya tertarik bahwa daya reaktif adalah daya yang berperan dalam media konversi energi. Jika dianalogikan dalam sistem pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), daya reaktif adalah bentuk apresiasi atas kerja keras water yang digunakan dalam siklus PLTU. Water dipanaskan menjadi uap, digunakan memutar turbin, didinginkan lagi menjadi water, dan dipanaskan lagi. Sebetulnya, bisa dikatakan bahwa water (dan bentuk turunannya) tidak melakukan apa-apa, water hanya berfungsi sebagai media konversi energi dari bahan bakar (batubara, udara, dan lain-lain) menjadi putaran turbin.

Namun, paragraf terakhir adalah ide saja. Bukan ide, hanya sesuatu yang terlintas dan sempat untuk dituliskan. Bisa didiskusikan kalau tidak tepat. Semoga bermanfaat.

Saat ini, jika pembaca menanyakan “apakah daya reaktif itu?”, saya akan menjawab “saya tidak tahu”.

Paiton, 9 April 2014. 13:59 WIB.

Friday, 28 March 2014

Daya Dalam Sistem Listrik AC – Part II



Segitiga Daya

Pada deskripsi sebelumnya, sudah disebutkan bahwa pada sistem listrik AC terdapat 3 macam daya. Yaitu daya aktif (P, [Watt]), daya reaktif (Q, [VAR]), dan daya kompleks (S, [VA]). Secara matematis, dituliskan bahwa S2=P2+Q2. Untuk mepermudah hubungannya, digunakan konsep segitiga daya. Yaitu suatu bentuk geometri yang secara jelas menunjukkan hubungan P, Q, S dan faktor daya.

Sebetulnya segitiga daya dibangun pada bidang cartesian (x-y plane). Daerah positif digunakan untuk merepresentasikan daya yang dikirim oleh sumber, sedangkan daerah negatif digunakan untuk merepresentasikan beban pada sisi beban. Namun, tidak ada aturan mutlak tentang representasi segitiga daya. Jadi kedua posisi di atas dapat diganti-ganti, dengan catatan harus konsekuen. Peletakan posisi harus lebih cermat saat kita membicarakan masalah kompensasi pada rangkaian AC (penambahan kapasitor untuk memperbaiki faktor daya).

Pada gambar 2 diperlihatkan sebuah segitiga daya. Misalkan, gambar tersebut adalah representasi daya yang dihasilkan oleh generator (sebetulnya dapat pula diasumsikan sebagai daya yang diserap oleh beban listrik). Generator menghasilkan daya aktif sebesar P, daya reaktif sebesar Q, dan totalnya secara vektor disebut daya kompleks S. Pada gambar tersebut direpresentasikan pula nilai faktor daya atau cos φ. Sudut φ dalam bahasan ini adalah sama dengan sudut φ pada bahasan bagian I. Pada bagian 1, φ direpresentasikan sebagai pergeseran sudut antara gelombang arus dan tegangan. Sedangkan pada bagian II ini, φ direpresentasikan dalam hubungannya dengan daya. Secara matematis hubungan 4 variabel adalah:









Lambang * diistilahkan sebagai conjugate, yaitu salah satu operasi matematis dalam matematika vektor. Sedangkan j adalah operasi imajiner, untuk menunjukkan bahwa Q adalah bagian imajiner dari S. Contoh berikut akan memberikan sedikit penjelasan tentang persamaan di atas dan operasi conjugate.

Gelombang daya dan arus yang dibangkitkan oleh generator satu fasa adalah sebagai berikut:
V = 230 0°
I  = 10 30°

Informasi ini mengandung arti bahwa gelombang arus tertinggal dari gelombang tegangan (lagging) dengan besar φ adalah 30°, yang berarti generator akan menyuplai P dan Q, dengan besar:
P= VI cosφ = 230 x 10 x cos(30) = 1991.85 Watt
Q= VI sinφ = 230 x 10 x sin(30) = 1150 Var
S = P+jQ = (1991.85 + j1150) VA
Atau
S = VI* = 230 x 10 (30-0)°
   = 2300 (30)°
   = 2300 cos(30) + j2300 sin(30)
   = (1991.85 + j1150) VA

Besarnya adalah:
|S| = |V| x |I| = 230*10 = 2300VA
  
Demikian untuk session ini, pembahaan lebih mendalam tentang Watt dan VAR akan dipaparkan dalam posting selanjutnya. Insya Allah.

Paiton, Mar 28th 2014 05:40 am.