Sunday 25 January 2015

Frequency Control Part – 8 (end)



Respon Dinamis pada Frequency Control


Jika terjadi gangguan ketidakseimbangan frekuensi (frequency imbalance), misal trip nya suatu pembangkit, maka respon dinamis suatu sistem dibagi menjadi 4 stages, yaitu:
·      Stage I       : Rotor swing pada generator
·      Stage II      : Frequency drop
·      Stage III     : Primary control oleh turbine governing system
·      Stage IV    : Secondary control oleh central regulator

Stage I        : Rotor swing pada generator
-     Suatu sistem daya ekuivalen dengan daya Ps dan impedansi Xs, terkoneksi dengan 2 pembangkit identik sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 18a; parameter pembangkit 1 dan pembangkit 2 adalah sama sehingga secara elektrik bisa diekuivalenkan dalam gambar 18b.

-     Kondisi di atas direpresentasikan secara grafik dalam gambar 19, yaitu daya mekanik total kedua pembangkit sebesar Pm- dan kaakteristik daya P-(δ’). Pada kondisi ini, sistem bekerja steady state pada titik 1.

-     Tiba-tiba terjadi gangguan yang mengakibatkan pembangkit 2 mengalami trip, sehingga daya mekanik total berubah menjadi Pm+ dan karakteristik daya menjadi P+(δ’) dengan perpotongan karakteristik di titik 4. Hilangnya daya ditunjukkan sebesar ΔP0.
-     Sudut rotor δ tidak dapat berubah seketika, menyebabkan generator 1 bekerja di titik 2. Luasan 2-2’-4 merepresentasikan deselerasi daya, yang membuat kecepatan turbin pada pembangkit daya 1 turun.
-     Adanya momentum menyebabkan pergerakan sudut rotor δ berhenti di titik 3. Luasan 4-3-3’ adalah sama dengan luasan 2-2’-4.
-     Adanya damping pada pembangkit 1 menyebabkan rotor bekerja steady state di posisi 4
-     Kondisi akselerasi-deselerasi rotor karena tripnya pembangkit lain dalam bahasan di atas disebut rotor swing, terjadi dalam order yang sangat singkat. Deviasi besaran sudut rotor dan daya ditunjukkan dalam gambar 20.



Stage II       : Frequency drop
-     Kondisi pada gambar 20 menyebabkan deselerasi kecepatan rotor di semua pembangkit, dikenal sebagai frequency drop
-     Gambar 21 menunjukkan sebuah contoh sistem daya dengan 3 pemangkit, dimana pembangkit 2 mengalami trip. Pembangkit 1 mengalami rotor swing, dan pada suatu saat pembangkit 1 dan 3 mengalami frequency drop.


Stage III      : Primary Control
Stage III pada kasus ini menjelaskan bagaimana respon pembangkit dan beban terhadap tripnya sebuah pembangkit. Kondisi tripnya sebuah pembangkit dan akibatnya terhadap sistem ditunjukkan dalam bidang (f,P) pada gambar 22.

-     Pembangkit bekerja steady state di titik 1
-     Tripnya sebuah pembangkit menyebabkan perubahan karakteristik pembangkitan dari PT- ke PT+ dan daya beban PL.
-     Saat sebuah pembangkit trip, pada kondisi yang singkat, frekuensi sistem akan masih konstan namun titik operasi bergeser ke titik 2
-     Sistem akan berusaha menuju titik kesetimbangan baru yaitu titik III yang merupakan perpotongan karakteristik PT+ dan PL.
-     Untuk mencapai titik III tidaklah mudah, sistem harus mengalami deviasi frekuensi sebagaimana dijelaskan pada stage I dan stage II.
-     Untuk mencapai titik III, karena kecepatan respon turbine governing system, maka titik operasi harus melalui titik 1-2-3; di mana titik 3 merupakan titik kesetimbangan antara daya pembangkitan dan daya beban. Dengan kata lain, titik 3 merupakan minimum lokal untuk grafik f(t).
-     Aksi turbine governing system mulai daat dirasakan dengan bergeraknya titik operasi dari titik asal 3 ke tujuan yaitu titik III. Namun karena inersia sistem mekanik, maka terjadi kelebihan suplai daya pembangkitan yang menyebabkan sistem bekerja di titik 4. Jadi, lokasi perjalanan sistem menjadi 1-2-3-4.
-     Kondisi ayunan ini akan berlangsung terus menerus hingga dicapai titik steady state baru yaitu posisi III.
-     Trayektori posisi menjadi fungsi daya dan frekuensi terhadap waktu ditunjukkan pada gambar 22 b dan c.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada stage III adalah:
-     Ketersediaan spinning reserve
-     Jika ketersediaan spinning reserve  maka akan menimbulkan frequency collapse
-     Untuk menghindari dampak buruk frequency collapse maka diterapkan UFL underfrequency load shedding.

Stage IV     : Secondary control
-     Sebagaimana disebutkan dalam stage III, sistem berada di kondisi steady state di titik III; namun titik operasi nominal adalah titik IV (atau titik 1).
-     Untuk mencapai titik 1, maka frequency control akan mengaktifkan Secondary Control (AGC), berdasarkan simpangan frekuensi ΔfIII.
-     Meskipun deviasi frekuensi ΔfIII cukup kecil, namun central regulator akan melakukan manuver dalam tempo yang cukup lama. Pemotongan trayektori P dan f pada gambar 23 merepresentasikan waktu yang cukup lama untuk memindahkan titik operasi dari III menjadi IV (1).

-     Kondisi dinamis di stage IV sebetulnya sangat tergantung pada karakteristik setting AGC yang dilakukan central regulator. AGC biasanya menggunakan PI (proportional-integral) controller.
-     Integral time pada I controller dan koefisien pada P controller harus dipilih secara cermat agar dihasilkan aksi pengontrolan yang halus. Biasanya, pada permulaan pengontrolan digunakan integral time  yang pendek agar dihasilkan aksi pengontrolan yang cepat. Namun hal ini harus dikompensasi dengan menurunkan koefisien pada P controller.
-     Pemilihan Integral time dan koefisien pada PI controller yang tidak tepat akan menyebabkan overdamping, yang berarti sistem akan berosilasi. Hal ini ditunjukkan pada gambar 24.


-      Sistem kembali pada titik operasi sebagaimana semula setelah melalui 1-2-3-4-III-IV(1).

Demikian uraian untuk topik Frequency Control. Semoga bermanfaat. Aamiin.

Malang, 25 Jan 2015 15.01.

Reff:

  • Power System Dynamic: Stability and Control. Second Edition. Jan Macowski, Janusz W. Bialek, James R. Bumby.  John Wiley & Sons. 2008.
  • Power System Stability and Control. P. Kundur. McGraw Hill.
  • Pengaturan Operasi Sistem. Hendrawan S. P3B Kantor Induk. 2013

Frequency Control Part – 7



Frequency Control (mode 3): Tertiary Control


Tertiary Control adalah mode frequency control dengan respon yang lebih lambat daripada primary dan secondary control. Tugas dari Tertiary Control sangat berkaitan dengan strktur organisasi dispatcher dan juga peranan pembangkit tersebut di dalam sistem daya (grid). Tergantung pada hierarki sistem, Tertiary Control akan bekerja sebagai berikut:

·   Operator dispatcher akan mengeset setpoint daya di setiap pembangkit berdasarkan economic dispatch

·   Penggunaan economic dispatch (OPF, optimal power flow) akan meminimalkan biaya pengoperasian sistem daya

·   Frekuensi sistem dapat terjaga di nilai operasionalnya, namun di lain pihak, sistem daya dapat dioperasikan secara lebih ekonomis



Sebagaimana kita tahu, energy market saat ini cenderung pada liberalisasi dan privatisasi tanpa dikontrol oleh dispatcher. Namun di sisi lain, dispatcher harus meyakinkan bahwa sistem daya akan beroperasi secara memuaskan; bak itu dalam aspek teknis maupun ekonomi. Untuk itu, dispatcher akan melakukan power bidding yang dapat dilakukan dalam satu periode untuk menentukan setpoint daya di setiap pembangkit, dengan mempertimbangkan kesiapa tenis pembangkit dan saluran transmisi serta aspek biaya yang ekonomis.



Selain itu, tanggung jawab Tertiary Control dalam frequency control  adalah sebagai supervisory untuk Secondary Control, apakah telah berjalan baik di suatu area atau tidak. Jika Secondary Control belum dapat melakukan tugasnya dengan baik, maka Tertiary Control harus dapat menginstruksikan manuver daya; misalkan menambah pembangkit berbasis gas (yang memiliki respon daya tinggi) untuk sinkron/de-sinkron ke dalam sistem daya. Diagram kerjanya ditunjukkan oleh gambar 17 berikut.


Sebagai rangkuman topik panjang ini, maka akan disampaikan dalam part 8 tentang 4 stages dalam frequency control

To be continued...

Malang, 25 Jan 2015 14:55. 

Saturday 17 January 2015

Frequency Control - Part 6



Frequency Control (mode 2): Secondary Control

AGC (Automatic Generation Control) / LFC (Load Frequency Control)



Prekondisi:

Sistem daya berada pada kondisi 1, yaitu pasca maneuver yang dilakukan Primary Control. Beberapa konsidi umum:

- Daya yang atau yg dikonsumsi beban adalah di P2; namun frekuensi berada di f1 dikarenakan daya terbangkit lebih kecil daripada daya beban

- Keadaan nominal harus dipenuhi, yaitu daya yang dibangkitkan sebesar P2 dengan frekuensi f0; titik operasi harus berada di steady state S3.

- Untuk memindakan titik operasi dari S1 ke S3, dibutuhkan Frequency control mode 2: Secondary Control.



Secondary Control:

Tujuan utama secondary control adalah mengembalikan frekuensi ke nilai nominal, namun dengan besaran daya yang baru. Dalam metode grafik, tugas secondary control adalah menggeser karakteristik pembangkitan PG, yaitu dari PG_a menjadi PG_b. Hal ini ditunjukkan dalam gambar 14. Merubah karakteristik pembangkitan dapat dilakukan dengan mengubah setting Pref di setiap unit pembangkit. Mode frequency control dimana aksi kontrolnya dilakukan di masing-masing governing system pembangkit disebut Secondary Control. Respon metode ini lebih lambat daripada Primary Control.



Dalam suatu sistem interkoneksi, secondary control diterapkan secara centralized oleh Dispatcher. Namun, karena adanya luasnya control area; maka secondary control dapat diterapkan pula di setiap sub area. Pembahasan umum dalam secondary control biasanya melibatkan tie-connection; artinya secondary control membahas beberapa control area. Dalam pembahasan kali ini, untuk penyederhanaan; metode secondary control hanya akan diterapkan untuk satu control area saja.




Diagram fungsional penerapan secondary control ditunjukkan oleh gambar 15. Deskripsinya adalah sebagai berikut:
  • Frekuensi nominal dalam sistem adalah sebesar fref, sedangkan frekuensi terukur sebesar f1. Deviasi antara freff dan f1 sebesar Δfss. 
  • Error frekuensi sebesar Δfss dikalikan dengan faktor λR [MW/Hz], yang disebut dengan frequency bias factor; sehingga dihasilkan ΔPf = λR x Δfss. 
  • ΔPf menunjukkan jumlah daya yang harus ditambah oleh pusat pembangkit untuk mengompensasi deviasi frekuensi sebagai akibat power mismatch antara pusat pembangkit dan pusat beban 
  • Dikarenakan dalam bahasan ini tidak melibatkan tie-connection (hanya membahas satu control area), maka ΔPf ini disebut sebagai ACE (area control error) dengan satuan [MW]
  •  Perbandingan ACE dan bandwidth daya yang masih bias disuplai pembangkit  PR disebut sebagai α atau participation factor. Penentuan α dengan membadingkan ACE dan PR akan menghasilkan participation factor yang sama (homogen). Namun jika diinginkan lain, participation factor dapat ditentukan secara non-homogen. 
  • Untuk setiap pembangkit ke-i; perkalian reserve power PRi dengan participation factor αi menghasilkan participation power ΔPref-i; mengindikasikan besaran tambahan/pengurangan daya yang harus dilakukan oleh setiap pembangkit 
  • Maka setiap pembangkit ke-i harus mengubah setpoint daya menjadi setpoint daya baru Preff i new; dimana besarnya adalah penjumlahan setpoint daya lama dengan participation power. Preff i new = Preff i + ΔPreff i.


Jika setiap pembangkit yang ditunjuk oleh dispatcher dapat melakukan Secondary Control dengan sukses, maka frekuensi akan kembali ke nilai nominalnya seperti ditunjukkan pada gambar 16. Pada gambar tersebut terlihat bahwa respon secondary control sedikit lebih lambat daripada primary control. Hal ini berkaitan dengan jenis pembangkit (coal based; gas based, water, dan sebagainya).



Tidak semua pembangkit dapat melakukan aksi Secondary Control karena harus ada beberapa komponen pendukung (SCADA, kesiapan unit pembangkit, dan sejenisnya). Jika Secondary Control  tidak dapat dilakukan, maka Tertiary Control adalah pilihan terakhir; akan dibahas dalam bahasan selanjutnya.

to be continued

Malang, 17 Jan 2015 20:40