Saturday, 17 January 2015

Frequency Control - Part 6



Frequency Control (mode 2): Secondary Control

AGC (Automatic Generation Control) / LFC (Load Frequency Control)



Prekondisi:

Sistem daya berada pada kondisi 1, yaitu pasca maneuver yang dilakukan Primary Control. Beberapa konsidi umum:

- Daya yang atau yg dikonsumsi beban adalah di P2; namun frekuensi berada di f1 dikarenakan daya terbangkit lebih kecil daripada daya beban

- Keadaan nominal harus dipenuhi, yaitu daya yang dibangkitkan sebesar P2 dengan frekuensi f0; titik operasi harus berada di steady state S3.

- Untuk memindakan titik operasi dari S1 ke S3, dibutuhkan Frequency control mode 2: Secondary Control.



Secondary Control:

Tujuan utama secondary control adalah mengembalikan frekuensi ke nilai nominal, namun dengan besaran daya yang baru. Dalam metode grafik, tugas secondary control adalah menggeser karakteristik pembangkitan PG, yaitu dari PG_a menjadi PG_b. Hal ini ditunjukkan dalam gambar 14. Merubah karakteristik pembangkitan dapat dilakukan dengan mengubah setting Pref di setiap unit pembangkit. Mode frequency control dimana aksi kontrolnya dilakukan di masing-masing governing system pembangkit disebut Secondary Control. Respon metode ini lebih lambat daripada Primary Control.



Dalam suatu sistem interkoneksi, secondary control diterapkan secara centralized oleh Dispatcher. Namun, karena adanya luasnya control area; maka secondary control dapat diterapkan pula di setiap sub area. Pembahasan umum dalam secondary control biasanya melibatkan tie-connection; artinya secondary control membahas beberapa control area. Dalam pembahasan kali ini, untuk penyederhanaan; metode secondary control hanya akan diterapkan untuk satu control area saja.




Diagram fungsional penerapan secondary control ditunjukkan oleh gambar 15. Deskripsinya adalah sebagai berikut:
  • Frekuensi nominal dalam sistem adalah sebesar fref, sedangkan frekuensi terukur sebesar f1. Deviasi antara freff dan f1 sebesar Δfss. 
  • Error frekuensi sebesar Δfss dikalikan dengan faktor λR [MW/Hz], yang disebut dengan frequency bias factor; sehingga dihasilkan ΔPf = λR x Δfss. 
  • ΔPf menunjukkan jumlah daya yang harus ditambah oleh pusat pembangkit untuk mengompensasi deviasi frekuensi sebagai akibat power mismatch antara pusat pembangkit dan pusat beban 
  • Dikarenakan dalam bahasan ini tidak melibatkan tie-connection (hanya membahas satu control area), maka ΔPf ini disebut sebagai ACE (area control error) dengan satuan [MW]
  •  Perbandingan ACE dan bandwidth daya yang masih bias disuplai pembangkit  PR disebut sebagai α atau participation factor. Penentuan α dengan membadingkan ACE dan PR akan menghasilkan participation factor yang sama (homogen). Namun jika diinginkan lain, participation factor dapat ditentukan secara non-homogen. 
  • Untuk setiap pembangkit ke-i; perkalian reserve power PRi dengan participation factor αi menghasilkan participation power ΔPref-i; mengindikasikan besaran tambahan/pengurangan daya yang harus dilakukan oleh setiap pembangkit 
  • Maka setiap pembangkit ke-i harus mengubah setpoint daya menjadi setpoint daya baru Preff i new; dimana besarnya adalah penjumlahan setpoint daya lama dengan participation power. Preff i new = Preff i + ΔPreff i.


Jika setiap pembangkit yang ditunjuk oleh dispatcher dapat melakukan Secondary Control dengan sukses, maka frekuensi akan kembali ke nilai nominalnya seperti ditunjukkan pada gambar 16. Pada gambar tersebut terlihat bahwa respon secondary control sedikit lebih lambat daripada primary control. Hal ini berkaitan dengan jenis pembangkit (coal based; gas based, water, dan sebagainya).



Tidak semua pembangkit dapat melakukan aksi Secondary Control karena harus ada beberapa komponen pendukung (SCADA, kesiapan unit pembangkit, dan sejenisnya). Jika Secondary Control  tidak dapat dilakukan, maka Tertiary Control adalah pilihan terakhir; akan dibahas dalam bahasan selanjutnya.

to be continued

Malang, 17 Jan 2015 20:40

No comments:

Post a Comment